Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto Istimewa
Jakarta, tvrijakartanews - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pasal penghinaan presiden dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu alasan penolakan itu karena pasal ini dinilai belum diterapkan di Indonesia, mengingat KUHP yang baru disahkan DPR RI belum menggantikan KUHP yang lama.
"Seandainya pun para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo dan Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan, quod non, namun oleh karena berkenaan ketentuan Pasal 218 Ayat 1, Ayat 2, dan Pasal 219 UU 1/2023 merupakan ketentuan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga terhadap hal demikian Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan para pemohon adalah permohonan yang prematur," tulis salinan putusan MK 143/PUU-XXII/2024 yang diputuskan pada Jumat, (3/1/2025).
Selain itu, alasan utama MK tidak menerima permohonan tersebut karena Mahkamah menilai para pemohon, yakni Muhammad Amir Rahayaan, Hamka Arsad Refra, dan Harso Ohoiwer yang merupakan warga Jakarta, tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut. Mereka dinilai tidak memberikan bukti yang cukup dalam menjelaskan kedudukan hukumnya dari aspek kerugian konstitusionalnya.
Mahkamah juga menilai bahwa kerugian konstitusional yang dijabarkan tidak bisa membuktikan dengan cukup tentang aktivitas yang dinilai terancam karena pasal penghinaan tersebut.
"Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," bunyi Putusan Mahkamah.
Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang digugat para pemohon adalah Pasal 218 ayat 1 dan 2, serta Pasal 219 UU 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 218 Ayat 1 mengatur pidana yang menyebut setiap orang di muka umum yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden atau wakil presiden bisa dipidana paling lama 3 tahun 6 bulan.
Kemudian Ayat 2 pasal yang sama menerangkan bahwa penyerangan tidak termasuk jika dilakukan untuk kepentingan umum dan membela diri.
Sementara itu, Pasal 219 adalah delik yang bisa menjerat setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar dan menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi terkait dengan penyerangan harkat martabat presiden dan wakil presiden.
Pasal ini mengatur pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan. Para pemohon kemudian menilai pasal-pasal ini bertentangan dengan konstitusi dan meminta MK menghapus norma tersebut.